Masih
Haruskah Berpacaran??
Allah memberikan rizki sesuai dengan kebutuhan hambaNya dan di
waktu yang menurut Allah terbaik untuk kita mendapatkannya. Jodoh adalah salah
satu rizki yang Allah persiapkan untuk kita.
Allah akan memberikan jodoh pada kita di saat yang tepat. Bukan
sesuai dengan keinginan kita. Seringnya kita menginginkan sesuatu hanya
berdasarkan pada keinginan bukan pada kebutuhan. Allah Maha Tahu, kapan kita
akan siap untuk menerima sebuah tanggung jawab besar untuk membentuk suatu
peradaban kecil yang di mulai dari sebuah keluarga.
Karena menikah bukan hanya penyatuan dua insan berbeda dalam satu
bahtera tanpa visi dan tujuan yang pasti, berlayar tanpa arah atau berlayar
hanya menuju samudera duniawi. Menikah adalah penggenapan setengah agama karena
menikah adalah sarana ibadah kepada Allah. Dalam tiap perbuatan di dalam rumah
tangga dengan berdasarkan keikhlasan dan ketaqwaan maka ganjarannya adalah
pahala. Tapi jika menikah hanya berdasarkan nafsu atau bahkan mengikuti
perputaran kehidupan dunia, maka hasilnya pun akan sesuai dengan yang di
niatkan.
Karena menikah adalah ibadah. Menikah adalah sunnah di anjurkan
Rasulullah. Menimbun pahala yang terserak di dalam rumah tangga. Dan semua
manusia yang normal pasti akan mendambakan suatu pernikahan. Merasakan suatu
episode hidup dimana kita akan memulai segala sesuatu yang baru. Yang dahulu
kita berperan sebagai seorang anak dengan berbagai kebahagiaan bermandikan
kasih sayang orang tua. Maka menikah adalah suatu gerbang menuju pembelajaran
menjadi orang tua kelak. Kita bukan lagi sebagai penumpang di mana mengikuti
arah kehidupan yang di tentukan orang tua, melainkan kita akan menjadi driver
untuk kehidupan kita sendiri kelak. Kita bisa saja mengikuti jalur yang telah
di lewati orang tua, jika memang itu jalur yang tepat. Tapi jika jalur itu tak
sesuai dengan arah tujuan kehidupan rumah tangga kita yaitu jalur keridhaan
Allah, maka kita pun harus mencari jalur yang tepat.
Karena menikah itu adalah satu kebaikan maka seharusnya harus di
mulai dengan yang baik pula. Misalnya, ketika kita ingin lulus ujian, maka kita
harus belajar yang giat bukan bermalas-malasan.
Ayat Allah masih jelas tertera dalam kitabNya, bahwa pria yang
baik akan mendapatkan wanita yang baik pula dan sebaliknya. Dan ayat itu masih
sama dengan pada saat Allah turunkan beribu tahun yang lalu. Janji Allah pun
tergambar melalui ayat itu dan Allah Maha Menepati janji. Lalu mengapa kita
masih meragukan janji Allah itu??
Masih haruskah berpacaran??
Mengenal lawan jenis dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing.
Padahal kenyataannya, hanya sedikit kejujuran yang di tampakkan pada saat
pacaran. Rasa takut yang besar untuk di tinggal pasangannya atau hendak
mengambil hati pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang
terdapat dalam dirinya. Sudah menjadi rahasia umum, jika usia pacaran yang lama
tak menjamin bahwa itu menjadi suatu jalan untuk memuluskan hubungan menuju
jenjang pernikahan. Sudah tak menjamin adanya pernikahan setelah sekian lama
menjalin masa pacaran, juga banyak di bumbui pelanggaran terhadap rambu-rambu
Allah. Maksiat yang terasa nikmat.
Zaman sekarang, berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan suami
istri. Si pria seolah menjadi hak milik wanita dan si wanita kepunyaan pribadi
si pria. Mereka pun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka. Yang
terparah adalah sudah hilangnya rasa malu ketika melakukan hubungan suami istri
dengan sang pacar yang notabene bukan mahram. Padahal pengesahan hubungan
berpacaran hanya berupa ucapan yang biasa di sebut “nembak”, misalnya “I Love You,
maukah kau menjadi pacarku?” dan di terima dengan ucapan “I Love You too, aku
mau jadi pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya itu. Tanpa adanya perjanjian yang
kuat (mitsaqan ghaliza) antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Tanpa adanya
akad yang menghalalkan hubungan tersebut. Hubungan pacaran tak ada
pertanggungjawaban kecuali pelanggaran terhadap aturan Allah. Karena tak ada
yang namanya pacaran islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan
hubungan tersebut.
Kita berlelah melakukan hubungan pacaran. Melakukan apapun guna
menyenangkan hati sang kekasih (yang belum halal) meskipun hati kita menolak.
Jungkir balik kita mempermainkan hati. Hingga suka dan sedih karena cinta,
cinta terlarang. Hati dan otak di penuhi hanya dengan masalah cinta. Kita
menangis karena cinta, kita tertawa karena cinta, kita meraung-meraung di
tinggal cinta, kita pun mengemis cinta. Hingga tak ada tempat untuk otak
memikirkan hal positif lainnya. Tapi sayang, itu hanya cinta semu. Sesuatu yang
semu adalah kesia-siaan. Kita berkorban mengatasnamakan cinta semu. Seorang
pacar, hebatnya bisa menggantikan prioritas seorang anak untuk menghormati
orangtua. Tak sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan sang pacar di
banding menemani orangtua. Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang anak
di banding orang tuanya sendiri. Seseorang akan rela menyenangkan hati pacarnya
untuk di belikan sesuatu yang di suka di bandingkan memberikan kejutan untuk
seorang ibu yang melahirkannya. Seseorang akan lebih menurut pada perintah sang
pacar di banding orang tuanya. Hubungan yang baru terjalin bisa menggantikan
hubungan lahiriah dan batiniyah seorang anak dengan orangtua.
Jika pun akhirnya menikah, maka tak ada lagi sesuatu yang spesial
untuk di persembahkan pada pasangannya. Sebuah rasa yang seharusnya di
peruntukan untuk pasangannya karena telah di umbar sebelumnya, maka akan
menjadi hal yang biasa. Tak ada lagi rasa “greget”, karena masing-masing telah
mendapatkan apa yang di inginkan pada masa berpacaran. Bisa jadi, akibat mendapatkan
sesuatu belum pada waktunya maka ikrar suci pernikahan bukan menjadi sesuatu
yang sakral dan mudah di permainkan. Na’udzubillah.
Parahnya jika tiba-tiba hubungan pacaran itu kandas, hanya dengan
sebuah kata “PUTUS” maka kebanyakan akan menjadi sebuah permusuhan. Apalagi
jika di sebabkan hal yang kurang baik misalnya perselingkuhan. Kembali hati
yang menanggung akibatnya. Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama. Hati
yang terlanjur memendam benci. Tak sedikit yang teramat merasakan patah hati dikarenakan
cinta berlebihan menyebabkannya sakit secara fisik dan psikis. Juga ada
beberapa kasus bunuh diri karena tak kuat menahan kesedihan akibat patah hati.
Terdengar berlebihan. Tapi itulah kenyataannya, hati adalah suatu
organ yang sensitif. Bisa naik secara drastis, tak jarang bisa jatuh langsung
menghantam ke bumi. Apa yang di rasakan hati akan terlihat pada sikap dan
perilaku. Hati yang terpenuhi nafsu akan enggan menerima hal baik. Ada orang
bilang, jangan pernah bermain dengan hati. Karena dari mata turun ke hati,
kemudian tak akan turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan mengendap di dalam
hati. Jika rasa itu baik dan di tujukan pada seseorang yang halal (suami atau
istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriah. Bukan sebuah melankolisme
yang kini merajalela.
Banyak pelajaran dari sekitar. Kenapa masih harus berpacaran??
Karena ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh
kesah?? Tak selamanya manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia
lainnya. Hanya Allah yang tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara
fisik sang pacar rela mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia yang akan
merasa bosan jika selalu di cecoki dengan berbagai keluhan.
Malu di bilang jomblo??
Jika dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang,
kenapa harus malu?? justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah
karena sadar hati kita hanya patut di tujukan kepadaNya bukan yang lain. Justru
kita harus bangga, di saat yang lain berlomba untuk melakukan hal terlarang
tapi kita menjauhinya. Kemudian tak akan ada perasaan was was karena telah
melanggar aturan Allah. Kita bebas berkumpul dengan kawan-kawan tanpa ada
kekangan dari orang yang sesungguhnya tak memiliki kewenangan terhadap diri
kita.
Mungkin masih banyak lagi kesia-siaan dalam berpacaran. Dan
sesungguhnya belum tentu sang pacar akan menjadi pasangan kita kelak.
Pacaran ibarat minuman beralkohol, banyak yang mengelak bahwa
dengan berpacaran mereka memiliki semangat baru dan sederet hal positif yang
mereka kumandangkan. Tapi sama halnya dengan alkohol, maka manfaat yang di
dapat jauh lebih kecil di banding kemudharatan yang di hasilkan. Karena segala
sesuatu yang di larang Allah, pasti ada sebab dan manfaatnya.
Kemudian ada yang berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang
lain. Tidak merugikan orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk di
ikuti ketimbang menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang kebinasaan.
Kembali ke pernikahan, suatu kebaikan maka tak pantas jika di
awali dengan keburukan. Allah tak akan ingkar janji, karena jodoh telah Allah
tetapkan di Lauh Mahfuzh. Tinggal kita melakukan usaha yang baik, yang Allah
ridhai. Supaya tiap langkah kita, hanya berisi keridhaan Allah dan mendapat
keberkahanNya. Aamiin.
(hanya sebuah catatan hati guna pengingat diri dan saudara
seimanku)
Allahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar